Oleh : Eddie Karsito.
Paris, AKUIAKU.Com — DIPENGHUJUNG bulan suci Ramadan 1439 H–2018 M, saya sempat bertandang ke Perancis. Dalam rangka tugas budaya mengikuti sidang “7th General Assembly” yang berlangsung di Markas UNESCO, Paris, SeninSelasa, 4–6 Juni 2018.
Saya salasatu delegasi yang diutus “Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia (SENAWANGI)”, untuk mengikuti “Meeting Forum Non Government Organization (NGO)”. Sebuah jaringan, pertukaran dan kerjasama lembaga non-Pemerintah yang mengurusi warisan budaya dunia “Intangible Cultural Heritage (ICH)” yang telah terakreditasi oleh UNESCO.
Paris, kota paling “stylish” di dunia. Mulai dari bidang fashion, kuliner, arsitektur bangunan-bangunan kuno, dan lain-lain. Kota yang kerap disebut Pusat Mode Dunia, “city of lights”, surga wisata dan pusat industri barang mewah.
Di kota ini, tak usah jengah bila tiba-tiba mendapati dua sejoli yang tengah bermesraan berciuman bibir di depan umum. Pemandangan ini adalah hal biasa bagi warga kota yang juga kerap dijuluki “kota cinta” dan “kota romantis”.
Atau menyaksikan para gadis dan jejaka menenggak alkohol, anggur, mengisap rokok, berpakaian minim, hingga menampakkan kenikmatan naluri dari tubuhnya bagian-bagian tertentu yang sensual. Semua menjadi simbol perkara kebebasan duniawi.
Apa yang saya saksikan, bukan lagi sebuah representasi atau simulasi sebuah pesan, yang selama ini hanya dapat saya saksikan di film-film Barat atau di layar televisi. Melainkan menjadi realitas budaya global yang menyentuh emosional masyarakat. Termasuk memengaruhi cara hidup.
Saya merasa beruntung. Kesempatan tugas sekaligus jalan-jalan ke Eropa kali ini, saat saya tengah menjalankan ibadah shaum (puasa). Saya merasa “menang banyak”. Setidaknya setelah saya lolos “uji nyali” karena tetap istiqomah berpuasa. Walau ada dispensasi sebagaimana telah ditetapkan syar’i, dibenarkan tidak berpuasa karena digolongkan musafir.
Di tengah panasnya hasrat syahwat, lapar dan dahaga, saya berusaha “asketis” menjalankan laku tirakat untuk berpantang pada kenikmatan duniawi. Ingin beribadah secara sungguh-sungguh di tengah cabaran gaya hidup orang-orang Eropa, dan menerima budaya mereka secara suka cita.
Bulan suci Ramadan di Paris, di sudut kota manapun, dinamika masyarakat siang dan malam sama saja. Jangan harap dapat menemukan suasana ramadhan seperti di Indonesia, atau seperti di negeri-negeri berpenduduk mayoritas Muslim lainnya.
Mendengar suara adzan, lantunan ayat suci al-Quran, atau majelis muzakarah, adalah sesuatu yang langka, bahkan tidak ada. Setidaknya hal ini dapat dirasakan di kawasan Cambronne, di “Hotel Ibis Styles Paris”, tempat saya menginap yang hanya berjarak kurang lebih dua kilometer dari “Menara Eiffel”.
Di pusat-pusat keramaian, di sepanjang jalan Rue Du Laos, hingga di sudut taman kota di bawah Menara Eiffel dan Trocadero. Seputaran kawasan wisata “Norte Dome Pavillion De La Tremoille, The Louvre Museum”, atau sepanjang mengarungi sungai terpopuler, “River Seine” di Paris, budaya Islam tidak hadir di sana.
Sebaliknya yang lebih menonjol budaya “immaterial” gaya hidup “pragtism” dan “materialism” ramainya pusat perbelanjaan, pertokoan, restauran, cafe, yang terus memompa denyut nadi kehidupan kota.
Bagi warga Paris, café tak sekedar gaya hidup. Ngopi, nongkrong di cafe, adalah budaya yang sangat umum di Paris. Soal minuman dan makanan enak, Paris tempatnya. Cafe dan restauran bertebaran di setiap sudut kota, dan jalan-jalan di Paris. Dari cafe kelas “kaki lima” pinggir jalan, hingga restauran super mewah dapat menjadi pilihan. Pendek kata, kehidupan kota di Paris menyenangkan, surga bagi wisatawan.
Namun hal ini menjadi “uji nyali” bagi muslim yang sedang berpuasa di bulan suci Ramadan. Apalagi rentang waktu berpuasa di Paris atau di Negara-Negara Eropa lainnya hingga 21 jam. Jauh lebih lama dibanding di Indonesia yang hanya 13 jam. Lamanya berpuasa mengacu pada peredaran matahari yang memengaruhi lamanya putaran waktu siang ketimbang malam.
Konon ada sekitar 5-10% populasi muslim di Perancis, namun tak membangun atmosfir kultur keislaman di kota Paris. Apalagi dapat menjemput berkah “lailatul qadar” sepuluh malam terakhir di bulan suci Ramadan. Bulan suci Ramadan di kota ini tak ada bedanya dengan bulan-bulan lainnya. Tetapi inilah budaya kota dengan wajah hedonism “the pursuit of pleasure” sensual self-indulgence dengan surga dunianya.
Melaksanakan ibadah puasa di kota Paris, sekaligus dapat merasakan dan menghayati bagaimana rasanya menjadi kaum minoritas. Saya merasa hanyalah noktah sel-sel kecil dari pusaran manusia dengan berbagai latar belakang peradaban. Pengalaman ini setidaknya menjadi kajian menarik bagi saya, tentang perubahan paradigma khalayak terhadap keyakinan seseorang.
Pergi ke Paris, bagi saya adalah ibadah yang menggali dimensi rohaniah dan ritus kehidupan. Banyak mengajarkan kepada saya bagaimana menjadi Islam yang toleran dan tidak memaksakan kehendak. Menahan diri dari sifat kegundahan dan rasa emosi, kemudian menahan lisan dari keluh kesah, serta menahan anggota tubuh dari perbuatan yang tidak terarah.
Di kota Paris, saya akhirnya banyak belajar tentang sabar. Sabar menahan pandangan. Bersikap “iffah” menahan diri dari syahwat perut dan kemaluan. Menurut orangtua saya “sabar lan nrimo, sumarah marang Gusti” (sabar dan merima, serta pasrah kepada Tuhan), seorang hamba akan terjaga dari kemaksiatan. Sabar dapat menjaga konsistensi menjalankan ketaatan, dan tabah dalam menghadapi berbagai macam cobaan. “Barokallahu. Salamun qoulam mirrobbirrohiim”.
Saya ucapkan “Selamat Idul Fitri, 1 Syawal 1439 H/15 Juni 2018. Mohon Maaf Lahir dan Batin”.
“Penulis Sosok seorang Eddie Karsito adalah Wartawan, Penggiat Budaya, Aktor Film dan Sinetron Indonesia”. ***