Jakarta, AKUIAKU.Com — KEMENTERIAN Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemendikbud), melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan menggelar kegiatan Festival Seni Pertunjukan 2018.
Salasatunya mengadakan “Gelar Tari Anak Indonesia 2018” yang berlangsung di Istana Anak-Anak TMII, Jakarta Timur, hingga hari ini, Jum’at (5/10/18).
Menurut Direktur Kesenian, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Dr. Restu Gunawan, M.Hum, melalui kegiatan “Gelar Tari Anak Indonesia”. Bisa menjadi media implementasi untuk penguatan jatidiri dan pembangunan karakter bangsa, serta meningkatkan persatuan dan kesatuan.
“Tari merupakan kegiatan kreatif yang dapat menumbuhkan kepekaan rasa dan dapat dijadikan aktivitas rekreasi, ekspresi, media pendidikan dan sosialisasi. Bagi generasi muda, tak terkecuali anak-anak,” jelas Restu di sela Kegiatan Gelar Tari Anak Indonesia 2018, yang berlangsung di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta Timur, Rabu (03/10/18).
Kebudayaan dan kesenian, kata Restu, adalah wadah strategis untuk menanamkan karakter kebangsaan bagi anak-anak. Karena dalam budaya dan seni, anak diajarkan tentang nilai-nilai toleransi, percaya diri, kerjasama, gotong royong dan menghormati perbedaan.
“Saya ambil contoh saat memainkan musik, pemainnya tidak melihat latar belakang agamanya, sukunya. Kolaborasi antar pemain yang berbeda akan menghasilkan musik yang indah,” ujarnya.
Meski kebududukan kebudayaan dan kesenian penting dalam pembentukan karakter, tidak berarti harus dipaksakan masuk dalam kurikulum pendidikan.
“Sebab saat ini kurikulum pendidikan sudah cukup padat dan anak-anak sudah direpotkan dengan tas yang padat buku,” ujar Restu.
Restu mengatakan dengan tidak menjadi bagian dari kurikulum pendidikan, anak-anak dengan bakat kesenian yang menonjol bisa mempelajarinya melalui wadah lainnya di luar lembaga sekolah. Anak bisa belajar melalui sanggar-sanggar kesenian yang ada.
“Gelar Tari Anak Indonesia 2018” ini, diikuti 27 komunitas terpilih mewakili Provinsi. Tampil di hari pertama, Rabu (3/10/18), grup tari anak dari DI Yogyakarta, Kepulauan Riau, Lampung, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Bangka Belitung, dan Kalimantan Timur.
Di hari kedua, Kamis (4/10/18), tampil 11 grup, dari Bengkulu, Banten, Maluku Utara, Gorontalo, Kalimantan Tengah, Jambi, Jawa Timur, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Utara, Nusatenggara Timur, dan Sumatera Barat.
Di hari terakhir perhelatan, Jum’at (5/10/18), tampil 7 grup, dari Jawa Tengah, Riau, Sumatera Selatan, Jakarta, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Selatan.
Bertindak sebagai Juri Pengamat diantaranya, Drs. Frans Sartono (wartawan senior, pengamat seni pertunjukan), Hartati, M.Sn (Dosen, Ketua Komite Tari Dewan Kesenian Jakarta dan praktisi Tari), Wasi Bantolo, S.Sn, M. Hum (Dosen ISI Surakarta dan praktisi Tari), Drs. MJ. Florybertus Fonno (Praktisi Tari dan pengajar di Padepokan Bagong Kussudiardjo Yogyakarta) dan Anusirwan, M.Sn (Kompinis dan Penata Musik Tari).
Pada kesempatan yang sama, Ketua Panitia Pelaksana “Festival Seni Pertunjukan 2018” Edi Irawan, menyampaikan, apresiasi seni untuk anak ini, melibatkan masyarakat luas berbasis komunitas. Didukung sistem data dengan sistem penyelenggaraan festival yang lebih baik.
“Peran serta para penari anak ini, dipilih melalui panggilan terbuka (Open Call) yakni mengirimkan video karya tari anak-anak. Lantas para pengamat yang terdiri dari para praktisi tari, memilih satu untuk tiap Provinsi,” terang Edy.
Ekspresi seni, lanjut Edy, baik sebagai manifestasi personal maupun realisasi nilai kolektif, adalah bentuk-bentuk pemberdayaan masyarakat kesenian. Hal ini menunjukkan bahwa kreasi seni secara dinamis selalu melakukan penyesuaian dan transformasi pengalaman individu di tengah perubahan sosial.
“Ekspresi seni itu harus diinkulturasikan sejak dini, sejak masa anak-anak. Maka untuk itulah dua dari tiga Festival Seni Pertunjukan ini, yaitu Gelar Tari Anak Indonesia dan Konser Karawitan Anak Indonesia, dikhususkan sebagai usaha membangun jatidiri dan karakter bangsa sejak masa anak anak,” kata Edy.
Problem pengembangan kesenian, tambah Edy, salah satunya adalah rasa memiliki. Banyak Pemerintah Daerah menganggap bahwa pengembangan dan pelestarian seni budaya menjadi pekerjaan dan tanggungjawab Pemerintah Pusat.
“Seperti dikemukakan pak Dirkes tadi, jadi masih ada daerah yang beranggapan bahwa kebudayaan, berkesenian adalah proyek Pemerintah Pusat. Padahal kebudayaan juga tanggungjawab dan milik Pemerintah Daerah,” kata Kasubdit Seni Pertunjukan Kemendikbud ini.
Menurut Edy, harus ada upaya baru untuk memperluas akses, agar kepemilikan ini harus bersama-sama. “Anak-anak penari yang bisa datang ke Jakarta itu sangat terbatas. Biasanya hanya di lingkungan orang-orang dinas (aparat terkait) saja. Maka kita lakukan “open call” terbatas. Tahun depan kita buka seluas-luasnya untuk siapa saja, sanggar dari mana saja yang punya keinginan berpartisipasi silahkan,” ungkapnya.
Harapannya dengan Festival Seni Pertunjukan, ide-ide, kreativitas dan aktivitas seni dapat terus berkembang. Seluruh ekosistem kesenian terutama para pelaku, peneliti, kurator, akademisi, pembina kesenian, Pemerintah Daerah secara aktif dan efektif mendorong perkembangan strategi seni-budaya yang berkesinambungan. (Red)