BINTAN, AKUIAKU.Com — DARI Tiga negara ada 130 Penyair, 350 lebih karya Puisi. Berkumpul dalam satu Jazirah, Kamis malam (29/11/18) lalu. Tentunya untuk memaknai jejak-jejak “Hang Tuah”, di “Jazirah” yang tak lain adalah judul buku Antologi Puisi setebal 400-an halaman. Dan Hang Tuah “hidup” kembali.
Para penyair dari berbagai belahan ranah estetik ini, mencurahkan sajak tentang Pahlawan Melayu yang melegenda dari abad ke-15. Dalam Perspektif dan Diksi Puitika masing-masing. Sehingga riuh dan penuh gairah dan bergema bersama-sama.
Sekira delapan dekade silam, Chairil Anwar barangkali merasa cukup baginya seorang diri. Menyerukan sejarah lewat Puisi, memanggil-manggil nama “Diponegoro”, maha-wira Nusantara lainnya dari abad yang lebih muda. Pada Abad ke-19.
“Di zaman pembangunan ini, Tuan hidup kembali,” demikian Chairil berkalam mengenang Pemimpin Perang Jawa itu, “…berselempang semangat yang tak pernah mati.”
Bagi Datuk Seri Lela Budaya Rida K Liamsi, hari ini diperlukan lebih banyak lagi suara-suara Chairil Anwar. Demi merawat dan melestarikan nilai-nilai historis. Sebab itu, tiga bulan lalu. Bersama Ketua Dewan Kesenian Kepri Hoesnizar Hood, Datuk Rida mengundang para Sastrawan tanah air dan mancanegara untuk merayakan sosok seorang “Hang Tuah” ke dalam bait-bait Puisi, sebagai sumbangan Karya Sastra terhadap Sejarah.
“Mulanya saya dan Husnizar ragu, jangan-jangan tema “Hang Tuah” ini, kurang akrab di telinga para penyair, ” ujar Datuk Seri Lela Budaya Rida K Liamsi,
Tapi keraguan segera pupus. Pasalnya, beberapa pekan setelah pengumuman jemputan menulis Puisi jejak “Hang Tuah”. Tersiar di kalangan “publik sastra”, surel panitia tak henti-henti menerima kiriman naskah.
“Hampir seribu karya puisi yang masuk,” terang Ketua Panitia Fatih Muftih. Akhirnya setelah melalui proses kurasi yang ketat di bawah meminjam istilah Fatih “mahkamah”. Para pengadil bijak bestari, Datuk Sutardji Calzoum Bachri dan Hasan Aspahani. Dari total 900-an karya Puisi, akhirnya hanya 350-an judul dinyatakan lolos.
Ya…350 lebih Puisi, ditulis oleh 131 Penyair dari Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Terhimpun dalam sebentang “Jazirah”, mencari ruang-ruang pemaknaan baru. Pada tapak besar tamaddun Melayu yang diwariskan Laksamana Hang Tuah.
Kamis malam yang agak renyai pada pelataran MTQ Telukbakau, Bintan, itu. Kitab Antologi Puisi “Jazirah”, diluncurkan secara takzim. Sekaligus menandai dibukanya perhelatan Festival Sastra Internasional Gunung Bintan.
Ketua Dewan Kesenian Kepri, Husnizar Hood, punya pandangan menarik soal “Festival Gunung Bintan”.
Festival ini, ujar Nizar, bukan setakat panggung para Penyair untuk memberi sumbangsih akal-budi. Tatkala menapak-tilasi jejak kebesaran “Hang Tuah” yang memang berawal dari kaki Gunung Bintan.
Namun, lebih luas dari itu, “Festival Gunung Bintan” baginya adalah salasatu jeda atau rehat terbaik dari segala kebisingan politik.
“Melalui “Festival Gunung Bintan”, kearifan budaya Melayu meyakinkan kita semua. Bahwa Indonesia itu juga “Jazirah” Puisi, bukan cuma tanah tumpah hoax”. ***