Jakarta, AKUIAKU.Com — DITENGAH arus hiburan dari mancanegara yang disertai teknologi yang membuat anak jaman “now” keranjingan, membuat para pemangku kepentingan dunia pewayangan menjadi “galau”, menghadapi kenyataan ini.
Berangkat dari kegalauan tersebut, dalam rangka menggerakkan, peduli serta peduli terhadap dunia Pewayangan. Tentunya encintai kearifan budaya lokal, khususnya wayang.
Para pelaku dunia pewayangan menggelar sarasehan dengan mengusung tema cukup menggelitik “Quo Vadis PEPADI” acara keren tersebut di gelar di Hotel Santika TMII, Sabtu (14/4/2018).
Sejumlah tokoh pewayangan dan pedalangan, budayawan serta praktisi seni menjadi narasumber, seperti Ki Purbo Asmoro, S.Kar. M.Hum (Dosen Senior ISI Surakarta), M. Sobary (Budayawan), Taufik Rahzen (Staf Ahli Menteri Pariwisata RI) dan Prof. DR. Ir. Sugeng P. Haryanto (Guru Besar Universitas Lampung) dengan Moderator Y. Sudarko Prawiroyudo (Dalang).
Dalam sambutannya di hadapan puluhan peserta sarasehan yang merupakan perwakilan dari 23 Komisariat Daerah di 23 Provinsi dari seluruh Indonesia.
Ketua Umum PEPADI Pusat, H. Kondang Sutrisno SE, menyampaikan rasa optimisme bahwa PEPADI bisa kembali menjadi jembatan, antara seniman dalang dengan para stakeholder, pemerintah, penanggap dan penonton.
“Kita punya harapan bahwa PEPADI bisa mendekatkan seniman dalang dengan pemerintah. Agar bisa menjadi corong pemerintah untuk mensosialisasikan, keberhasilan program-program pembangunan di Indonesia dalam segala bidang,” ujar Kondang.
Lewat beberapa program unggulan, PEPADI berusaha merangkul para seniman dalang untuk meningkatkan kemampuan. Ada tiga program yang sedang dijalankan PEPADI yakni Sarasehan, Festival dan Pagelaran.
Diantaranya pada hari Jumat (13/3/2018) telah digelar pertunjukkan Wayang kulit Banyumasan dengan Dalang, Ki Eko Suwaryo & Ki Wartun dengan lakon “Wahyu Cakraningrat” di Plaza Tugu Api Pancasila Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Di lokasi yang sama, usai sarasehan ada Pergelaran Wayang Kulit Yogyakarta, bersama Dalang Ki Seno Sugroho, dengan lakon “Bagong Duta”.
Wayang menurut Kondang, tidak hanya jadi seni pertunjukan dan hiburan. Tetapi juga dapat menjadi benteng dari degradasi moral yang sangat gencar dan mengancam eksistiensi kebudayaan luhur.
“Wayang seharusnya menyampaikan pesan-pesan moral yang dapat membangun karakter bangsa menjadi lebih baik. PEPADI akan bekerja sama dengan lembaga terkait,” papar Kondang.
Sementara menurut Sugeng P. Haryanto, PEPADI harus bersinergi dengan pemerintah. Seperti yang pernah dilakukan di era Orde Baru. Misalnya meminta kepada pemerintah, melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pariwisata. Maupun Pemerintah Daerah harus meningkatkan perhatian dan dukungan terhadap seni dunia Pewayangan.
“PEPADI harus mendesak agar wayang dan seni pedalangan bisa masuk dalam muatan lokal pada kurikulum pendidikan di tiap tingkatan,” ujar Sugeng.
Masih menurut Sugeng, sebagai pelaku seni, harus memasukkan wayang dalam perangkat media komunikasi modern. Melalui aplikasi-aplikasi yang dapat menggugah minat anak-anak dan generasi muda dalam menikmati hiburan.
“Kita harus mengemas hiburan wayang dengan bahasa yang mudah dimengerti dan dipahami serta memperpendek durasi menjadi lebih singkat tanpa mengurangi makna dan nilai yang disampaikan,” papar Sugeng.
Senada dengan strategi yang ditawarkan Sugeng terkait kemasaan hiburan wayang agar lebih kekinian, budayawan Sobary malah menantang pelaku seni wayang untuk berkolaborasi, dengan sineas untuk memproduksi film mengangkat kisah-kisah pewayangan.
“Mestinya dibuat film Ramayana atau Mahabarata, dalam durasi pendek. Kemudian di share melalui media sosial. Dengan cara itu, wayang bisa menjelajah keseantero dunia. Tentu filmnya juga harus ringan dan kekinian sesuai era “milenial”,” ujar Sobary.
Menurut Kepala Bidang Humas Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia (SENA WANGI), Eny Sulistyowati S.Pd , MM, para seniman yang mampu memperkuatkan aktivitas keseniannya dengan kekinian, dapat memberi andil memperkuat eksistensi kesenian tradisional.
“Kesenian bukan benda mati yang statis. Tetapi ekspresi para pelakunya yang dari waktu ke waktu juga mengalami perubahan. Ketidakmampuan para seniman melakukan adaptasi terhadap situasi baru, lambat laun dapat menyurutkan keberadaan kesenian tradisional. Para pendukung dan pemangku kesenian tradisional harus mampu memanfaatkan situasi kekinian,” ujarnya.
Sarasehan juga membahas usulan lima organisasi pewayangan Indonesia (Sena Wangi, PEPADI, APA-Indonesia, UNIMA-Indonesia dan PEWANGI) tentang penetapan tanggal 7 November sebagai Hari Wayang.
Semua pengusul sepakat, dengan penetapan “Hari Wayang” akan menjadi momen bersama untuk menggerakkan berbagi kegiatan terkait pewayangan secara Nasional dan serentak di seluruh Indonesia.
Masalah harapan itu, Sobary berkomentar, tidak perlu ada Hari Wayang, yang lebih penting adalah setiap hari ada wayang.
“Maksudnya lebih baik, kita memikirkan bagaimana wayang dapat diterima oleh generasi “milenial”. Sehingga menarik untuk ditonton dan jika sudah berhasil, otomatis tiap hari ada pertunjukkan wayang,” ujarnya.
Selain mengusulkan ‘Hari Wayang”, ke lima organisasi pewayangan Indonesia juga pernah merilis “Pernyataan Bersama Organisasi-organisasi Pewayangan Indonesia” pada 27 Februari lalu. Ada 4 point yang harus ditaati para pelaku pewayangan, salasatunya harus bersikap netral dan tidak berpihak dalam Pilkada, Pileg dan Pilpres nanti.
Namun pada kenyataannya, justru “job” manggung akan mengalir deras di saat Pesta Demokrasi berlangsung. Terkait hal ini pengurus PEPADI, hanya bisa menghimbau agar semua anggota bisa mentaati isi dari pernyataan sikap itu.
“Ada banyak dalang menjadi anggota Partai. Bahkan ada beberapa yang menjadi anggota DPR dan DPRD. Selama mereka menjalankan fungsinya sebagai anggota Partai, tentu itu hak mereka berpolitik. Tapi di saat menjalankan profesinya sebagai dalang, dia tidak boleh berpolitik praktis,” papar Sugeng. (ThressNo)