Jakarta, AKUIAKU.Com — SALASATU pepatah latin yang cukup terkenal yaitu “Scientia potentia est” atau dalam Bahasa Indonesia yang berarti “Pengetahuan Adalah Kekuatan”.
Bagi Reyhan Savero Pradietya atau yang akrab dipanggil Reyhan ini, pepatah tersebut adalah kalimat yang membekas di dalam hatinya.
Reyhan percaya bahwa potensi manusia yang terbesar ada pada tingkat ilmunya. Semakin tinggi seseorang mengejar ilmu dan mampu untuk mengamalkan ilmunya tersebut secara positif, semakin tinggi pula nilai yang melekat pada orang tersebut.
Maka tidak salah jika “Top 5 Abang Jakarta 2016” ini juga, sebelumnya saat masih berkuliah telah memperoleh beberapa prestasi akademik. Diantaranya menjadi Juara 1 pada kategori Battle of Brains di The 19th ALSA National English Competition dan mendapatkan gelar Best Delegation dalam event ALSA International Legal Training & Workshop di Manila, Filipina pada tahun 2015. Saat SMA, ia juga berhasil menjadi Lulusan Terbaik SMAI Al-Azhar BSD.
“Saya gemar membaca dan sudah lama berkawan dengan buku, terutama yang berkaitan dengan sejarah dan politik. Menurut saya selain seru dan banyak yang bisa dieksplorasi, dengan mempelajari sejarah dan politik dunia. Seseorang dapat mengetahui bagaimana mengetahui pola sebab-akibat terjadinya peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di dunia. Khususnya dalam lingkup kebijakan-kebijakan yang memberikan pengaruh besar terhadap masyarakat dunia sejak dini,” tutur pemuda kelahiran Jakarta, 28 Januari 1994.
Hal ini tentunya sangat menarik, sebab sebagai generasi muda yang nantinya akan menjadi “Pemegang Kendali”, menurut Reyhan kita dituntut untuk bisa mengevaluasi dan memastikan. Bahwa keputusan dan kebijakan apapun yang nantinya diciptakan oleh generasi kita, dapat membuat masyarakat saat ini menjadi lebih baik daripada sebelumnya.
“Sejauh ini saya memiliki dua harapan sederhana yaitu mampu membanggakan orangtua serta orang-orang sekitar atas apa yang sudah dan akan saya capai. Serta berharap kedepannya, akan mampu memberikan kontribusi yang berdampak positif bagi masyarakat luas,” tandas Reyhan.
Salasatu usaha yang sudah Reyhan lakukan untuk merealisasikan kedua harapan tersebut, adalah dengan berperan sebagai “Abang Jakarta”. Melalui perannya itu, ia memiliki kesempatan untuk berkontribusi kepada kota Jakarta. Melalui program-program yang ia kembangkan seperti pengembangan RPTRA, Sosialisasi Budaya dan Pariwisata kepada masyarakat kota Jakarta, maupun kota-kota lainnya. Dimulai dari hal-hal kecil tersebut lah ia belajar bagaimana membuat program kontributif yang berdampak luas dan berjangka panjang di masa mendatang.
“Saya bercita-cita untuk menjadi “policy maker”. Saya ingin menjadi “konseptor” kebijakan yang mampu mengarahkan negara ini, menjadi negara yang superior dan kuat dalam berbagai bidang. Selain itu juga bermimpi ingin menjadi dosen, sebab sebaik-baiknya ilmu adalah ilmu yang mampu kita bagikan ke generasi mendatang berikutnya,” jelas anak tunggal ini.
Sarjana Hukum dari Universitas Indonesia (UI) ini, juga sibuk bekerja sebagai Konsultan Hukum di sala satu “law firm” di Jakarta Selatan. Di samping itu, juga sedang melakukan persiapan untuk melanjutkan studi ke Inggris.
“Salasatu tokoh idola saya adalah Bapak Kyai Haji Abdurrahman Wahid (Gusdur). Semangat, visi, dan komitmen beliau sebagai Bapak Pluralisme di Indonesia. Dalam memperjuangkan kebebasan berekpresi, persamaan hak, semangat keberagaman dan demokrasi di Indonesia ini. Menjadi motivasi saya untuk selalu menjadi seseorang yang berpikiran terbuka dan mampu memberikan kontribusi positif terhadap sesama tanpa melihat status, rasdan agamanya.” papar Reyhan yakin.
Sementara itu untuk tokoh idola, banyak terinspirasi dari Ibunya sendiri. Ibulah yang selalu mengajarkannya untuk belajar meraih ilmu setinggi-tingginya dan menjadi seseorang yang selalu rendah hati terhadap sesama.
“Hidup adalah bagaimana kita menjadi versi terbaik dari kita dan membantu orang lain untuk mencoba menjadi versi terbaik dari diri mereka,” tuturnya.
Reyhan juga, selalu ingat bahwa segala “privilege” yang ia dapatkan selama ini tidaklah gratis. Namun datang dengan tanggung jawab, agar mampu memanfaatkannya sebagai “modal” perjuangannya, untuk merealisasikan harapan-harapannya, termasuk “giving something back to the society.” (Tiwi Kasavela)