Jakarta, AKUIAKU.Com — SERINGKALI orang suka meremehkan hasil kerja para pendahulunya. Kerja mereka dianggap ketinggian zaman tidak “update”. Itu sah-sah saja, pun dengan pembentukan komite Festival Film Indonesia (FFI).
Pembentukan Komite FFI sebenarnya bukan hal baru dalam pelaksanaan FFI. Tahun 1988-1992, ketika film masih di bawah Departemen Penerangan (Deppen) era Orde Baru sudah dibentuk Pantap FFI sebagai pelaksana FFI.
Cuma bedanya Pantap FFI yang diketuai oleh Ketua Dewan Film, HM Johan Tjasmadi dan beranggotakan Dr. Salim Said (Kabid Hubungan Luar Negeri), Tb. Maulana Husni (Kabid Penjurian), Galeb Husen (Kabid Acara) dan Ilham Bintang (Kabid Humas), bekerja selama 5 tahun.
Dengan pembentukan Pantap FFI yang bekerja sepanjang tahun, diharapkan lebih fokus dalam menangani FFI. Alasan yang hampir sama juga muncul dalam pembentukan Komite FFI 2018 – 2020.
“Kalau panitia FFI sebelumnya kan gonta-ganti. Sekarang selama tiga tahun orangnya sama, supaya fokus,” kata Lukman Sardi.
Sementara Adisoerya Abdi Sutradara Senior berharap, dengan dibentuknya komite yang masa kerjanya 3 tahun bisa kerja lebih maksimal.
“Harus ada hasil kerjanya, sehingga FFI kedepan memiliki pedoman yang benar. Sehingga hasil FFI, bisa jadi tolak ukur prestasi dan bisa membanggakan,” ujar Adisoerya Abdi di Bioskop Metropole Cikini Jakarta Pusat, Senin (1/10/18).
Sejak pertama kali diselenggarakan pada 1955, Festival Film Indonesia (FFI), digagas sebagai barometer perkembangan kualitas perfilman Indonesia. Melalui berbagai penghargaan yang diberikan, publik dan kalangan perfilman sendiri bisa membaca pencapaian terbaik yang dihasilkan pekerja film tanah air selama setahun terakhir.
Dalam perkembangannya dari tahun ke tahun FFI menghadapi banyak tantangan, namun dari waktu ke waktu pula penyelenggaraan FFI terus diperbaiki. Untuk mengembalikan gagasan awal penyelenggaraan FFI tersebut, pada waktu-waktu tertentu. Khususnya ketika perubahan atau perkémbangan situasi memérlukan, dibutuhkén pérbaikan yang lebih strategis.
Karenanya, mulai tahun ini FFI akan memasuki babak baru. Dari semula program penghargaan tahunan, FFI kini menjadi sebuah entitas yang beroperasi sepanjang tahun dan kerjanya berfokus pada usaha-usaha meningkatkan kualitas film Indonesia untuk memperkuat sisi budaya dan estetika film.
Melalui Surat Keputusan (SK) Ketua Umum BPI, telah dibentuk Komite FFI (Festival Film Indonesia) dengan masa kerja tiga tahun (2018-2020). Komite FFI diketuai Lukman Sardi dengan anggota pengurus, Catherine Keng (Sekretaris), Edwin Nazir (Keuangan & Pengembangan Usaha), Lasja F.Susatyo (Program), Nia Dinata (Penjurian), dan Coki Singgih (Komunikasi).
Komite FFI akan menjadi entitas baru, melengkapi entitas yang sudah Iebih dahulu ada. Untuk bersama-sama melakukan pemajuan perfilman Indonesia.
Sebagaimana diketahui, sudah ada Pusat Pengembangan Perfilman Kemendikbud (Pembinaan), Badan Ekonomi Kreatif (Pengembangan ekosistem), Lembaga Sensor Film (Perlindungan Masyarakat), Badan Perfilman Indonesia (Peran Serta Masyarakat), Lembaga Pendidikan (Kajian dan Pendidikan), Asosiasi Profesi (Peningkatan Profesionalisme), Komunitas (Pengembangan Potensi Masyarakat), Bioskop/Ruang Putar (Distribusi), Media (Apresiasi dan Promosi), LSP Kreator Film (Sertifikasi Kompetensi), Akatara (Pembiayaan Perfilman), Komisi Film Daerah (Layanan Syuting) dan Iain sebagainya.
“Sebagai entitas yang berfokus dan bertanggung jawab dalam peningkatan kualitas. Keberhasilan Komite FFI, hanya dapat dicapai melalui kolaborasi keahlian dan sumber daya dengan entitas dan pemangku kepentingan lain. Dalam penyelenggaraan program penghargaan Piala Citra. Misalnya, kami merangkul mulai dari Pusbang Film, Bekraf, LSF, BPI, Asosiasi Profesi, Komunitas, Lembaga Pendidikan dan Media. Semua program FFI pun akan dibiayai bersama oleh semua unsur Pemerintah. Serta mitra swasta yang mempunyai perhatian dan kepentingan sama,” jelas Lukman Sardi.
Di samping program tahunan penghargaan Piala Citra, komite FFI akan menjalankan berbagai program. Antara Iain kanonisasl film Indonesia, pelatihan tingkat pakar (Master Class), kolaborasi komunitas, Iiterasi dan apresiasl publik dan lain lain.
Perbaikan paradigmatik Iain juga sudah dirintis tahun Ialu. Dalam penjurian penghargaan Piala Citra. Pada FFI 2018 platform baru itu, akan dilanjutkan dengan beberapa perbaikan. Salasatunva, pada kategori film cerita panjang, film yang dinilai sudah harus memiliki STLS (Surat Tanda Lulus Sensor) dari LSF.
Sebagaimana tahun Ialu, penjurian dilakukan dengan visi merumuskan secara jelas, karya dan kerja artistik. Dengan pencapaian tertinggi yang diinginkan dan hendak dipromosikan atau didorong, untuk Iebih banyak dibuat dan dikerjakan.
Penjurian menjadi sebuah sistem yang mampu menetapkan secara tepat film dan kerja artistik yang seharusnya dijadikan tolok ukur pada masanya. Tiga kriteria yang digunakan sebagal dasar penilaian adalah gagasan dan tema, kualitas estetika serta profesionalisme.
Untuk mewujudkan hasil terbaik dari sistem tersebut, penjurian melibatkan partisipasi aktlf asosiasl profesi dan komunitas melalui proses seleksl internal. Bentuk penjurian lni dimaksudkan juga, agar ke depannya terjadi penguatan kelembagaan serta profeslonalisme asosiasl profesi dan komunitas yang ada.
Penetapan nominasi dilaksanakan melalui rekomendasl asosiasi profesi dan komunitas.
Sementara pemilihan pemenang dilakukan oleh perwakilan yang ditunjuk asosiasi profesi dan komunitas ditambah 10 juri mandiri. Sebagal pekerja dan pegiat yang aktif dalam Iingkungan produksi, para penilai atau juri dari asosiasi profesi dan komunitas dianggap mampu memahami secara baik setiap detail dari setiap unsur yang dinilal. Serta mengetahui trend mutakhir perfilman dunia.
Tahapan penjurian oIeh asosiasi profesi dan komunitas akan berlangsung tgl 2 s/d 25 Oktober 2018. Pengumuman nominasi direncanakan 6 November 2018.
Selanjutkan pemenang Piala Citra FFI 2018, diumumkan dalam Malam Anugerah pada Desember 2018. Sebagaimana sebelumnya, seluruh proses penjurian dilakukan di bawah pengawasan konsultan publik independen, Deloitte Consulting. (Boeyil)