Jakarta, AKUIAKU.Com — KESENIAN tradisi dapat menjadi sarana untuk menanamkan “rasa” bagi anak-anak. Kesenian dapat membantu memberi “rasa” identitas kepada mereka. Anak tidak hanya mengenal identitas (budaya) di mana dia menetap, tapi juga dari berbagai daerah lainnya.
Inilah yang tercermin dalam perhelatan acara “Konser Karawitan Anak Indonesia 2018” yang digelar di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki (GBB-TIM) Jakarta, selama tiga hari, (Kamis s/d Sabtu, 25 s/d 27 Oktober 2018).
Bermain musik bagi anak-anak adalah hal menyenangkan. Melalui pengalaman keindahan musikal berbasis seni tradisi, mereka dapat menyadari jatidiri.
“Secara tidak langsung mereka dapat mengidentifikasi berbagai elemen penting budaya lokal,” ujar Direktur Kesenian, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Dr. Restu Gunawan, M.Hum, kepada AKUIAKU.Com. Pada penutupan acara, di (GBB-TIM) Jakarta, Sabtu, (27/10/2018).
Menurut Restu, pentingnya menguatkan jatidiri dan karakter pada anak. Pembangunan karakter merupakan usaha sadar, terarah, dan sistematis. Main musik bagi anak-anak adalah ruang bagi mereka untuk mengembangkan karakter.
“Antara lain kesediaan bekerjasama, mudah berinteraksi, mengasah kehalusan budi pekerti, menumbuhkan rasa tanggung jawab dan sifat pemberani. Selain itu, bagian dari pengembangan pendidikan imajinasi,” ujarnya.
Apresiasi musik untuk anak ini diikuti 31 grup mewakili 31 Provinsi. Acara ini melibatkan ratusan peserta yang sebagian besar anak usia 5 hingga 12 tahun. Mereka didampingi para instruktur, pimpinan sanggar, penata musik, dan sebagian orangtua yang mendampingi.
Mereka terpilih melalui proses seleksi “Open Call”, pola seleksi seperti ini, menurut Restu, lebih memungkinkan penyelenggara mendapatkan peserta berkualitas. Sebelumnya mereka diberi pelatihan melalui lokakarya.
“Konser karawitan ini menjadi ruang pertemuan bagi mereka dengan publik, pengamat musik dan para pelaku seni lain. Selain diberi ruang untuk tampil, mereka dapat bertukar pengalaman, membangun jaringan dan kerjasama yang lebih produktif,” terang Restu, selaku Penanggung Jawab program tahunan yang diselenggarakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI ini.
“Seni Bukan Dipertandingkan”
Pada kesempatan lain, salasatu juri pengamat, Jabatin Bangun, menegaskan tentang pengertian festival yang kerap disalah artikan. Festival disamakan dengan lomba, layaknya kompetisi dalam olahraga.
“Festival bukan lomba. Makanya kami bukan Juri, tetapi pengamat. Di kesenian kita bisa main bareng berkolaborasi bersama di pangung, merangkul yang lain. Kesenian itu dipersandingkan, bukan dipertandingkan,” ujar Jabatin, dalam sesi evaluasi, yang berlangsung di Oasis Amir Hotel, Jakarta, Sabtu, (27/10/2018).
Melalui Forum Musisi dan Komposer Karawitan Indonesia, para Juri Pengamat yang terdiri dari Bens Leo, Embie C. Noer, Gilang Ramadhan, Jabatin Bangun dan Suhendi Afryanto. Merekomendasikan tentang perlunya, Negara memberi apresiasi, pada seniman dan atau budayawan dalam kerangka pembangunan kebudayaan, baik di tingkat Daerah maupun Nasional.
“Ada regulasi yang mengatur berbagai kegiatan seni karawitan dan atau musik Daerah yang ditujukan pada pelaku seni, bukan pada birokrat. Memfasilitasi para “maestro” seni yang tersebar di sejumlah daerah secara berkala. Mulai dari Pemerintah Pusat, Provinsi, sampai Kabupaten Kota. Bila memungkinkan para “maestro” tersebut diangkat menjadi Anak Negara,” ujar Jabatin mewakili Juri Pengamat lainnya.
“Menteri Tidak Hadir”….!
Menyayangkan tidak hadirnya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Mendikbud), Prof. Dr. Muhajir Effendy di acara ini. Padahal sejumlah pihak menaruh harapan Menteri dapat hadir, mengingat anak-anak dari Daerah berharap sekali, dapat bertemu Mendikbud sebagai sosok utama di Dunia Pendidikan.
“Anak-anak banyak yang baru pertama kali datang ke Jakarta. Senang bisa tampil di tempat yang representatif. Mereka senang dapat nginap di hotel berbintang. Naik pesawat pun baru pertama kali. Tentu mereka akan lebih senang dapat bertemu pak Menteri Muhajir Effendy dan bisa foto bersama,” ujar papar Roy Jonsen Girsang, Penata Musik dari grup musik Sekolah SD YPGMI-AN Pancur Batu Deli Serdang, mewakili kontingen Sumatera Utara.
Ketidak hadiran Mendikbud Muhajir Effendy, memang bukan di acara ini saja. Di acara “Gelar Tari Anak Indonesia 2018” yang juga digelar Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, di Istana Anak-anak Indonesia TMII Jakarta, awal bulan lalu juga tidak hadir.
“Kehadiran bapak Menteri sebenarnya sudah kami siapkan dan dijadwalkan. Namun karena ada tugas yang lebih mendesak, terpaksa kehadiran beliau diwakilkan,” ujar Ketua Panitia Pelaksana “Konser Karawitan Anak Indonesia 2018, Edi Irawan menjelaskan.
Kasubdit Seni Pertunjukan Kemendikbud ini, menyampaikan rasa gembira karena “Gelar Tari Anak Indonesia” dan “Konser Karawitan Anak Indonesia” dapat berjalan sesuai harapan.
Menurutnya, masyarakat yang tidak mampu mengaktualisasikan seni budayanya. Akan kehilangan fondasi etik dalam tatanan kehidupan.
“Ini adalah upaya bersama untuk menghidupkan “spirit” kebudayaan yang harus ditanamkan kepada anak-anak sejak dini sebagai fondasi pembentukan karakter bangsa,” kata Edy. (EK)