BANDUNG, AKUIAKU.COM — KETUA Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, mengaku heran mengapa rencana harmonisasi Perka Nomoe 31 Tahun 2018 hingga kini belum disahkan. Pihaknya menduga ada yang menghalang-halangi pelabelan pada galon guna ulang.
‘Padahal risiko yang dipertaruhkan sangat besar,’ ujar Arist Merdeka Sirait, saat dijumpai di kantornya di Jl. TB Simatupang No.33 Pasar Rebo, Jakarta Timur, Selasa,1 Maret 2022.
Komnas Perlindungan Anak, lanjut Arist, secara tegas mendukung keputusan BPOM untuk mengubah Perka No 31 tahun 2018.
‘Saat ini harusnya para pemangku jabatan lebih memperhatikan masalah kesehatan,’ ujarnya.
Pelabelan, kata dia, tidak akan berpengaruh besar terhadap pasar. Dia hanya mengharapkan, agar kelompok usia rentan, bayi, balita dan janin tidak mengkonsumsi.
‘Ambil contoh, penjualan rokok tidak terpengaruh walau sudah diberi label peringatan akan bahayanya. Begitu juga yang terjadi pada susu kental manis. Yang penting Negara hadir memberi edukasi dan mengingatkan kepada masyarakat bahayanya Bisphenol A,’ terangnya.
Arist percaya, pasar tidak akan terganggu. Sehingga kelompok yang khawatir akan mempengaruhi penjualan hanyalah ketakutan yang berlebihan.
‘Perlu disadarkan, Negara harus benar-benar lebih memperhatikan kesehatan dari pada bisnis. Boleh bisnis tapi mengutamakan kesehatan. Sebab itu sudah jadi tanggungjawab dirumuskannya SNI dan BPOM,’ papar Arist.
Arist juga mengharap kepada BPOM untuk membuka ke publik hasil penelitian migrasi BPA yang menurut kesimpulan BPOM sangat mengkhawatirkan.
‘Hasil penelitian itu perlu dibuka ke publik jadi tahu seberapa mengerikannya. Karena hasil penelitian dari BPOM sudah pasti sangat komprehensif dengan sampel yang besar,’ ujarnya.
Pihaknya, kata Arist, selama ini hanya mengikuti bocoran dari media. Salah satunya bahwa kelompok rentan pada bayi usia 6-11 bulan berisiko 2,4 kali dan anak usia 1 – 3 tahun berisiko 2,12 kali dibandingkan kelompok dewasa usia 30-64 tahun.
‘Ini artinya apa ? Pelabelan itu sudah mendesak dan tepat supaya bayi, balita dan janin tidak mengkonsumsi air dari galon guna ulang,’ tegas Arist.
Apa faktor yang membuat migrasi BPA itu besar? Seperti yang sudah disampaikan para pakar bahwa faktor produksi dan distribusi di mana di sana terjadi paparan matahari dan gesekan ini faktor terbesar terjadi Migrasi.
Terdapat potensi bahaya 1,95 kali (hampir 200 persen) berdasarkan pengujian terhadap kandungan BPA pada produk AMDK berbahan polikarbonat dari sarana produksi dan distribusi seluruh Indonesia.
Solusinya adalah segera dibuka data hasil penelitian BPOM agar Pemerintah juga tahu dan menjadi bahan pertimbangan.
‘Selain itu juga masyarakat agar mengetahui dan lebih berhati – hati terhadap kemasan polikarbonat yang mengandung BPA yang berbahaya bagi usia rentan,’ desak Arist. (Eddie Karsito).